Kamis, 20 Mei 2010

Detik-detik Proklamasi Indonesia

Numpang Posting "Detik-detik bersejarah 17 Agustus 1945


Berikut fakta sejarah yang terjadi pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
( diperoleh dari berbagai rangkuman sumber sejarah Bangsa Indonesia antara lain dari : Sekretariat Negara RI & Wikipedia ) :

Perdebatan Antara Golongan Tua & Golongan Muda


Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.

Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )

Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:

” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”

Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”

Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memprokla­masikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.

Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.

Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.

Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.

Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.

Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).

Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan

Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo ( 1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.

Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.

Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco ( kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi ­ jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde ­ kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicara­kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha ­ langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).

Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.

Menurut Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.

Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.

“Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.

Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.

Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia
( Hatta, 1970:53 ).

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.

Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.

Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.


“Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.

Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 )
.

Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.



Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.

Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.

Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah itu.

Senin, 17 Mei 2010

Aku bertanya untuk Keadilan

What is the truth? adalah pertanyaan klasik yang dipertanyakan oleh para pencari kebenaran di dunia ini. Apa yang benar? dan apa yang salah? adalah masalah bolak-balik yang bisa direkayasa untuk kepantingan-kepentingan. Socrates minum racun maut, meskipun dibujuk oleh murid-muridnya agar tidak melakukannya. Apa yang "benar" dalam keyakinannya menuntun Socrates untuk melakukan tindakan itu. Padahal itulah yang diharapkan oleh penguasa agar Socrates mati. Bagi kalangan penentangnya "kebenaran" yang diyakini dan dihayati oleh Socrates adalah sebuah kekonyolan tragis, tapi bagi para pengikutnya keyakinan yang tidak tergoyahkan justru menabalkan Socrates sebagai filsuf yang satu kata dan satu perbuatan. Lalu mana yang benar? dan mana yang salah?. Relatif. Semua punya argumen masing-masing.

Lalu dengan jalan pikiran yang kira-kira sama, what is the justice? Apa itu keadilan? adil menurut siapa?. Adil bagi saya apakah itu juga berarti adil bagi yang lain?.Apakah keadilan melulu soal simetrikal ataukah non simetrikal?. Lalu kapan keadilan itu dipertanyakan? apakah ketika kita mengalami ketidakadilan?
Apakah hidup di dunia ini, selalu soal keadilan? Mengapa ada orang kaya tapi disisi lain juga ada orang miskin.Apakah adil jika orang kaya menjadi kaya hanya karena faktor keturunan, sementara ada orang yang tetap miskin karena sengaja dibuat miskin walaupun sudah berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari kemiskinan.

Siapakah yang berhak menentukan keadilan? manusiakah? Tuhankah? Jika manusia keadilan apakah yang sedang kita cari, keadilan manusia?. Apakah hakiki? tidakkah keadilan bagi yang satu berarti ketidakadilan bagi yang lain pada saat yang bersamaan.

Aku melihat keatas dan memandang kepada Hakim di atas segala hakim dan meminta keadilanNya. Tapi sebenarnya yang aku cari adalah bagaimana supaya Ia berpihak kepada kepentinganku semata, padahal aku lupa kepentinganku bisa berarti malapetaka bagi yang lain. Lalu apa artinya aku meminta keadilanNya? berserah dan percaya kepadaNya tanpa harus memikirkan kepentingan diri sendiri, biarkanlah Dia memutuskan keadilan.

Selasa, 11 Mei 2010

Saatnya Mendengarkan Hati Nurani

kekisruhan negeri yang bernama Indonesia ini, tampak tidak memiliki ujung yang pasti. Pemberitaan di media massa terus mengirimkan sinyal bahwa negeri kita ini dibangun atas satu isu di atas isu-isu yang lain. Belum satu isu dituntaskan muncul isu yang lain lengkap dengan segala kompleksitasnya yang membuat dahi terus menerus berkerut. Diatas prahara kekisruhan ini, kisruh bank century, kisruh negeri para mafia, kisruh penegakan hukum, kisruh rebutan tanah, kisruh ujian nasional, kisruh tawuran, kisruh KPK, kisruh cicak buaya, kisruh Susno, kisruh partai politik, kisruh sekretariat gabungan, kisruh lapindo, kisruh sri mulyani dan kisruh-kisruh yang lain saking banyaknya, kita hanya bisa menyerukan moratorium dan kontemplasi untuk sejenak mendengarkan hati nurani kita.

Hati nurani yang saya maksudkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Hati nurani yang dilembagakan yaitu Partai Hati Nurani Rakyat. Hati nurani yang saya maksudkan adalah kewarasan berpikir, kejernihan mata untuk melihat, kebeningan telaga jiwa dari ruang yang paling dalam di dalam diri manusia sebagai "rupa" dan "gambar" TUHAN di bumi ini.

Sekeping perangkat surgawi, yang bernama hati nurani ini mampu menuntun manusia kepada pencerahan dan peradaban yang meningkatkan harkat dan martabat manusia yang tidak bisa diukur secara materi. Di titik inilah manusia menemukan jati dirinya yang sesungguhnya, Menjadi manusia yang manusiawi.

Bagi mereka yang berada di dalam pusaran arus kisruh,sekaligus menjadi aktor utama, pendukung, dan figuran, yang berpeluang untuk mengambil keuntungan-keuntungan demi peningkatan "harkat" dan "martabat" yang semu, pusaran arus tersebut dapat menjebak dan membutakan kewarasan berpikir, dan kebeningan hati nurani. Semuanya dihitung, saya berikan tapi saya harus mendapat, berapa yang yang saya berikan dan berapa yang saya dapat. Kalkulasi-kalkulasi seperti itu, hanya menurunkan harkat dan martabat kemanusiaan kita, kita manusia adalah pemelihara bumi bukan perusak bumi,menjauhkan bumi dari prahara dan kekacauan, kita manusia adalah pemegang mandat atas keberlangsungan penyelenggaraan tata kehidupan di bumi ini. Intinya adalah harkat dan martabat kemanusiaan yang menunjukan "keagungan" kemanusiaan kita, hanya akan tercapai jika bumi menjadi tenteram dan damai menjadi "rumah" bagi seluruh mahluk hidup di dalamnya.

Tenteram dan damai itu tidak berarti tidak ada konflik dalam hal pemikiran dan kepentingan, namun konflik tersebut harus dikawal agar tidak boleh berbelok kepada perusakan dan pembusukan yang pada ujungnya akan mengganggu tata ketentraman dan kedamaian. Sepanjang sejarah umat manusia yang diyakini oleh sebagian ilmuwan di mulai pada 10,000 BC, harkat dan martabat yang hakiki itu tidak mampu diemban dengan baik.Perang demi perang yang memusnahkan ras manusia sebagai ujung dari konflik pemikiran dan kepentingan, telah terjadi di mana-mana. Tata tentram dan damai yang seharusnya bersifat absolut itu kemudian menjadi nisbi. Pada satu titik tertentu akan tercapai keseimbangan baru setelah kekisruhan dan prahara melanda, maka itulah tata tentram damai yang baru. Namun pada kurun waktu yang lain, titik itu bergeser lagi menuju titik tertentu yang lain, maka tata tentram dan damai yang baru lagi tercipta, demikianlah terjadi terus menerus. Sejarah telah membuktikan itu.

Ketika manusia tidak lagi mengindahkan sinyal-sinyal yang diproduksi oleh perangkat surgawi yang bernama hati nurani, maka kewarasan berpikir dan kebeningan hati nurani tidak akan mampu lagi mempengaruhi tindakan perusakan dan pembusukan yang dilakukan oleh manusia. Hanya hati nurani kita yang sanggup menuntun kita untuk mengambil tindakan yang "benar" demi harkat dan martabat kemanusiaan kita. Kepada para politisi, para penegak hukum, para wartawan, para penggiat LSM, para birokrat, para guru dan dosen, para buruh,seluruh kita masyarakat luas, saatnyalah melakukan moratorium dan berkontemplasi, agar nurani kita berbicara dan menuntun kita kepada "keagungan" harkat dan martabat kemanusiaan kita, agar bumi Indonesia menemukan tata tentram dan damai yang baru. Untuk itu seluruh kekisruhan dan prahara ini, yang entah sengaja diciptakan atau tidak, harus mampu menemukan ujungnya, dan harus mampu berubah atau diubah menjadi energi yang menimbulkan komitmen kuat dan masal untuk tidak tercebur lagi pada lubang yang sama di dekade-dekade selanjutnya. Sungguh rakyat luas sama sekali tidak di untungkan dengan persoalan-persoalan elit tersebut. Justru merekalah yang paling menderita, karena elit sibuk "bertempur" sehingga tugas konstitusi mereka menjadi tidak optimal lagi, ujungnya rakyat terbawahlah yang paling menderita.Dengarkanlah hati nurani kita masing-masing berbicara.

Apa yang akan terjadi jika kekisruhan terus mengamuk di negeri yang bernama Indonesia ini? Ada beberapa kemungkinan. Apatisme dan zero partisipasi pada penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin membesar, perlu harga waktu yang teramat mahal untuk memperbaikinya kembali. Kedua, revolusi sosial dengan harga yang teramat mahal bisa menghadang. Ketiga, Separatisme dengan berbagai alasan ideologis menemukan bahan bakarnya dan siap merobek Indonesia. Kemudian, kudeta berdarah oleh militer dan negeri ini menjadi junta militer bisa menjadi kemungkinan juga. Lalu kemungkinan failure state (negara gagal) dengan contoh-contoh kongkrit beberapa negara-negara Afrika, kekerasan bersenjata, munculnya milisi swasta, tindak kriminal, harga barang yang melambung tinggi, pembantaian etnis dan golongan, inflasi yang merajalela jauh pada level yang bisa dibayangkan adalah harga yang harus dibayar oleh sebuah failure state. Jika Indonesia tidak terkendali lagi oleh pemerintahnya, maka kemungkinan yang lain adalah kita akan menjadi negara boneka dari negara lain. Australia, Malaysia, Singapore, Brunei, Timor Leste, dan Papua Nugini memiliki kemungkinan untuk melakukannya. Tentu saja so pasti kita tidak menginginkan hal tersebut, itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk. Selagi masih ada waktu bagi kita untuk mencatatkan diri dalam sejarah kejayaan Indonesia bagi anak cucu kita kelak, dengarkanlah hati nurani kita dan ikutilah dia. dia tidak pernah berdusta, dan menuntun kita kepada "keagungan" harkat dan martabat kemanusian kita sebagai pemegang mandat. semoga.

Senin, 10 Mei 2010

Jepang

Jepang adalah negara kedua yang kujelajahi, maksudku dalam waktu yang cukup lama menetap sebagai permanent residence. Negara pertama adalah Belanda. kuhabiskan 2 tahun dari umur hidupku dalam kembara di negeri itu. Kuyakini, bukan hal yang kebetulan jika kemudian dua negara berbeda tersebut, dalam kurun waktu yang lalu pernah menancapkan sejarahnya di Bumi Indonesia.Tentu saja sejarah tersebut sedikitpun tidak pernah menjadi referensiku ketika memutuskan untuk memilih negara-negara tersebut.

Jepang bagiku sudah seperti negara keduaku setelah Indonesia. Kultur dan alamnya yang membuat aku suka dengan negeri ini. Kultur yang dibentuk oleh masa dan alam yang dibentuk oleh aktifitas geologis, telah membuat Jepang tampil menjadi negara yang cantik dimataku. Kemakmuran yang diperoleh dari hasil pertumbuhan ekonomi yang luar biasa selama puluhan tahun, telah menjadi daya tarik bagi banyak bangsa lain untuk mengecapnya. Ada banyak penduduk yang berasal dari negara lain, tinggal diJepang sebagai orang asing. Sebagian mereka datang dengan alasan pernikahan, namun cukup banyak juga yang datang sebagai tenaga kerja. Mereka menikmati manisnya madu Jepang berupa upah yang relatif lebih tinggi dari negara asal mereka, fasilitas publik yang bisa diakses dengan mudah, subsidy, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, sarana kesehatan dan kebersihan dan lain-lain.

Umumnya mereka bisa menikmati fasilitas tersebut, karena di negara Jepang, pemerintah memberikan fasilitas kepada semua penduduknya tidak terkecuali yang berstatus sebagai orang asing jika mereka hidup dengan income rendah, mereka memiliki anak yang harus dibesarkan dan disekolahkan.Nikmat dari kemakmuran Jepang ini memang menarik pendatang untuk mencicipi tinggal dinegeri ini dengan berbagai macam alasan.

Harap di catat bahwa hidup dengan income rendah bukan berarti kita tidak bisa hidup nyaman, punya mobil bagus, bisa menyekolahkan anak, bisa berobat jika sakit, sama sekali bukan. Income rendah disini adalah rendah menurut ukuran orang Jepang yang memang telah terbiasa dengan standar tinggi. Sehingga standar rendah mereka bagi kita tetaplah tinggi. Sehingga sekalipun income kita rendah, katakanlah di bawah 1 juta Yen/per tahun, namun kita masih bisa tinggal di public housing yang bagus, punya mobil dengan merek bagus dengan kondisi kinclong. Masih bisa jalan kemana-mana, menikmati kultur dan alam Jepang yang menarik dan indah.

Rabu, 05 Mei 2010

Golden Week

Awal mei 2010 sampai tanggal 6, Jepang memasuki golden week. Golden week adalah minggu emas untuk menyambut summer. Untuk penyambutan itulah selama beberapa hari, seluruh aktifitas formal di jepang mengalami peliburan, dikarenakan seluruh karyawan, pegawai pemerintahan, guru, dosen, dan sudah barang tentu siswanya juga, menggunakan libur awal musim panas ini, untuk sekadar lari sebentar dari rutinitas yang dapat menjemukan. Lari untuk menikmati, suasana lain yang berbeda, sehingga di harapkan produktifitas akan semakin meningkat. Ada sebagian orang yang pergi menginap di pegunungan, atau berkemah dipantai, atau hanya sekedar mengunjungi kota lain, namun ada juga yang sebagian mengisi waktu liburan dengan berbagai aktifitas yang berguna untuk pertumbuhan keluarga, seperti misalnya bersama-sama anggota keluarga mengunjungi museum, atau pergi ke kebun binatang, atau mengunjungi taman-taman bermain, atau taman rekreasi. Yang penting, anak senang, bertambah pengetahuannya, Bapak dan ibunya juga senang karena mendapatkan kesempatan untuk pergi bersama-sama, saling berkomunikasi. Selama golden week, kegiatan publik berjalan dengan lambat, pada titik tertentu dengan mudah kita melihat jalanan lengang tanpa ada orang yang berlalu lalang, tapi pada titik-titik yang lain, misalnya pada kawasan wisata, kita akan mudah melihat mobil-mobil mengular, terhambat oleh kemacetan panjang. Pulang dari berlibur selama golden week, badan jadi pegal, apalagi jika ada kegiatan fisik yang dilakukan selama golden week misalnya surfing di pantai, berolahraga jogging. Rasa penat dan pegal biasanya masih terasa pada hari pertama masuk kerja. Itulah sebabnya kelambanan masih sering terjadi pada hari pertama kerja. Mobil-mobil di parkir biasanya baru terisi penuh setelah tengah hari, mungkin pemiliknya, masih harus meluruskan pinggang dan kaki, sekedar menghilangkan rasa sakitnya sebelum berangkat kerja. Di tempat kerjapun masih dipenuhi dengan wajah-wajah yang kelelahan setelah berkelana ke tempat-tenpat yang jauh, dan baru pulang hanya beberapa jam sebelum masuk kerja. Alhasil, produktifitas yang diharapkan sebagai outcome dari golden week ini baru akan menunjukan hasilnya setelah beberapa hari kemudian. Selamat datang musim panas.