Selasa, 17 Agustus 2010

Marah



Menjadi marah dan menumpahkan kemarahan kepada orang lain memang kelihatannya mudah dilakukan dan kebanyakan dilakukan oleh umumnya orang. Hanya saja tidak semua orang mampu marah dengan “baik” dan “tepat”. “Baik” maksudnya apakah marah itu bertujuan untuk memperbaiki orang lain yang menjadi sasaran kemarahan dan “tepat” maksudnya marah tersebut memiliki “timing” yang tepat pada situasi dan kondisi yang “pas”.

Seorang boss menumpahkan kemarahan kepada anak buahnya selama beberapa menit karena kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya. Namun efek dari marah yang terjadi selama kurang dari 5 menit itu dengan menggunakan pilihan kata-kata yang tidak manusiawi, menjelma menjadi pengalaman traumatik bagi sang anak buah. Sang anak buah akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri nyawanya karena menganggap dirinya sudah tidak berguna lagi bagi sang boss. Namun dalam sebuah kisah yang lain, seorang boss yang marah-marah dan meletupkan amarah itu kepada seorang anak buahnya, namun justru berubah menjadi pecut yang melecut semangat dari sang anak buah untuk meraih keberhasilan.

Dua contoh kemarahan yang sama dengan dua sikap dalam menerima kemarahan yang berbeda, sesungguhnya menjadi pembelajaran bahwa amarah dapat menghasilkan efek yang bervariasi mulai dari yang merugikan sampai menguntungkan tergantung dari kekuatan mental dari orang menerima muntahan amarah tersebut. Bagi yang kuat maka muntahan amarah tersebut akan mampu menjadi kekuatan ekstra sebaliknya bagi yang lemah, maka dapat berakibat fatal.

Lalu jika demikian apakah kita tidak perlu marah atau tidak boleh marah?. Kesimpulan sementara, sedapat-dapatnya marah adalah selalu menjadi pilihan yang terakhir untuk menunjukan kesalahan, jika seandainya jalan persuasi sudah buntu. Dalamnya hati orang tidak pernah bisa kita duga dengan baik, adalah menjadi alasan kenapa marah adalah jalan yang harus kita tempuh dengan kehati-hatian bukan dengan sembrono.

Mari kita lihat apakah kesimpulan sementara itu “cocok” dengan kisah berikut ini. Alkisah, seorang Rabbi menumpahkan marah kepada para pengasong yang menjadikan pelataran sebuah rumah ibadah yang menurut aturan harusnya steril, sebagai pasar binatang yang ribut dan kotor. sang Rabbi marah dan mengusir para pedagang tersebut. dan ketika sang Rabbi ditanya kenapa mesti marah, dia hanya menjawab apa yang kamu lakukan jika ada orang dengan sengaja dan terus menerus mengotori rumahmu?. kamu tersenyum dan membiarkan orang terus mengotorinya?. Amarah sang Rabbi dipandang “baik” dan “tepat”. “Baik” karena dalam konteks mendidik untuk lebih menghargai rumah ibadah. “Tepat” karena situasi dan kondisinya ketika itu telah terjadi pembiaran yang telah berlangsung lama dan pengakomodasian terhadap kegiatan pasar binatang itu oleh pihak yang berwenang, dan tidak ada seorangpun yang berani menyatakan keberatannya secara langsung.

Sekarang mari kita cermati apa efek dari amarah sang Rabbi terhadap para pedagang yang dirugikan dan pihak berwenang yang juga dirugikan karena setoran jadi berkurang. Pedagang disitu pastilah dikendalikan oleh pikiran ekonomi. Ada permintaan, ada penawaran. Dimana ada kumpulan orang, pasti disitu ada permintaan dan kejelian pedagang disitu, adalah mengenali jenis permintaan dan berikhtiar menyediakannya. Lalu ketika lapak mereka digusur dari tempat yang tidak seharusnya, maka dengan mudah mereka mencari lapak yang baru di tempat yang seharusnya yang banyak tersedia disekitar rumah ibadah itu (perlu dingat bahwa yang dipersoalkan sang Rabbi adalah posisi lapak para pedagang ditempat yang terlarang dari rumah ibadah itu, bukan kegiatan berdagangnya). Jadi tidak ada efek yang membahayakan para pedagang sebagai hasil dari amarah sang Rabbi. Justru mereka menjadi diingatkan bahwa ternyata ada orang yang tidak setuju jika pelataran rumah ibadah itu digunakan sebagai pasar binatang.

Sebaliknya bagi pihak berwenang yang selama ini mengecap keuntungan dari kehadiran para pedagang itu, melalui setoran hariannya, amarah sang Rabbi itu, yang menyatakan ketidaksetujuan secara langsung, justru berpotensi mengecilkan pendapatan harian mereka. Dengan memperjualbelikan lapak-lapak di tempat yang terlarang itu, pihak berwenang mendapatkan tambahan penghasilan terhadap penghasilan resmi mereka. Kini para pedagang menjadi kapok berjualan di pelataran rumah ibadat yang benilai strategis secara ekonomi. Alhasil tingkah amarah sang Rabbi itu dipandang sebagai ancaman terhadap status quo yang selama ini telah dipelihara dengan baik tanpa ada gangguan. Jadi efek amarah sang Rabbi kepada pihak berwenang yang memfasilitasi pasar binatang itu adalah malahan menumbuhkembangkan kebencian pihak berwenang itu kepada sang Rabbi. Salahkah amarah sang Rabbi itu?

Selasa, 03 Agustus 2010

Palangkaraya: Nasibmu dan Takdirmu Kini

Ditengah gegap gempita wacana pemindahan pusat pemerintahan Indonesia, dan salah satu kota yang diusulkan karena alasan historis, posisi geografis, alasan keamanan, dan geopolitis, adalah kota Palangkaraya. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan beberapa cuil informasi yang barangkali terlewatkan. Kota Palangkaraya adalah satu-satunya kota pertama yang dibangun pada masa kemerdekaan oleh tangan bangsa Indonesia sendiri. Embrio awal dari kota ini adalah sebuah desa yang bernama Pahandut, sebuah desa di tepi sungai Kahayan. Desa ini pada awalnya cukup berkembang, dan penduduknya pada waktu itu kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani, pencari hasil hutan dan nelayan. Desa ini terhitung sebagai desa ke-17 dari muara sungai Kahayan. Tokoh pembentukan Propinsi baru, yang ke 17 Kalimantan Tengah, pada waktu sedang berupaya untuk menentukan ibukota Propinsi baru ini. Ada beberapa kota yang telah berkembang dan menawarkan diri untuk menjadi ibukota propinsi baru itu, namun pemikiran untuk membangun sebuah kota baru, kota pertama di alam kemerdekaan rupanya mendominasi pengambilan keputusan untuk memilih lokasi di mana desa Pahandut, dan desa Jekan berlokasi. Ide untuk membangun sebuah kota baru yang bebas dari pengaruh Belanda dan Jepang diduga kuat berasal dari Soekarno presiden pertama RI, dan kemudian dieksekusi oleh tokoh -tokoh pembentukan propinsi Kalimantan Tengah.

Lalu dimulailah suatu pekerjaan yang mahaberat: mengubah hutan rimba perawan menjadi sebuah kota. Tak terkirakan dedikasi dan semangat melebur antara pemimpin dan rakyat Kalimantan Tengah untuk mewujudkan impian itu. Hutan di tebas dengan peralatan tradisional dan modern, raungan suara gergaji mesin bersaing dengan suara mesin buldozer meratakan tanah. Lalu para tukang-tukang bangunan dan tukang pembuat jalan bahu membahu membuat banguan kantor pemerintahan dan infrastruktur jalan. Sampai saat ini para sesepuh yang terlibat dalam pembangunan kota Palangkaraya, masih bisa dengan bangga menceritakan perjuangan mahaberat itu lengkap dengan berbagai romantika dan kisah mistis yang membalutnya untuk anak cucu mereka.

Sayangnya proyek mercusuar Soekarno untuk memimpin blok baru dunia melalui proyek Ganefo-nya sedikit banyak telah mengalihkan perhatian kepada pembangunan kota baru ini. Ditambah dengan berbagai persoalan yang menyangkut teknis di lapangan dan pada akhirnya posisi politik Soekarno yang sudah goyah di akhir masa pemerintahannya, semakin menenggelamkan ambisi besar untuk sebuah kota Modal-Model impian rakyat merdeka. Palangkaraya terpinggirkan dari ambisi besar dan harus meniti jalan nasibnya sendiri.

Kini, nasib telah membawa palangkaraya berkembang menjadi sebuah kota kecil dengan penduduk kira-kira 189,000-an orang. Pendapatan asli daerahnya tidak terlalu mengesankan hanya sekitar 23-an milyar pada tahun 2009 lalu. Dengan luas kira-kira 2400 an kilometer persegi, dan dari luas itu 93% -nya masih berupa hutan dan lahan pertanian, maka luas terbangun kota itu kira-kira baru 7% dari luas totalnya. Sehingga lengkaplah kalau kota Palangka seringkali di juluki sebagai kota dwimuka. ada muka countryside yang didominasi oleh hutan belantara dan desa-desa kecil, sementara itu di wilayah intinya terdapat muka kota yang didominasi oleh bangunan publik dan pemukiman padat penduduk.

Palangkaraya terdiri dari dua kata. Palangka dan Raya. Palangka lengkapnya palangka bulau adalah wahana mitologi dalam kepercayaan Kaharingan (agama asli penduduk Kalimantan Tengah) yang membawa turun manusia pertama ke dalam dunia ini. Palangka bermakna wadah atau tempat yang suci (holy place). Sementara itu Raya, yang juga dikenal dalam bahasa Indonesia berarti besar. Sehingga secara harafiah palangkaraya dapat berarti tempat yang suci dan besar. Pemberian nama ini menggambarkan cita-cita dan visi para tokoh yang terlibat dalam pembangunan kota Palangka Raya akan sebuah kota yang besar dan kota yang mengagungkan kesucian (bersih dari budaya korupsi, kongkalikong, suap, hidup bermartabat dalam kebersamaan) sebagai jalan hidupnya.

Nama palangkaraya, pada awalnya ditulis terpisah antara kata Palangka dan kata Raya. Namun belakangan ditulis dalam satu kesatuan, dan kini entah mengapa mulai dikembalikan kepada cara penulisan awalnya. Tapi itu tidak terlalu penting-penting amat,terserahlah yang baiknya bagaimana. Perhatian saya lebih banyak fokus kepada nasib Kota Palangkaraya (saya ikuti penulisan yang enaknya menurut saya saja) yang kini seakan ditarik kembali kepada masa-masa gegap gempitanya nasionalisme di kumandangkan oleh Soekarna. Adalah sebuah takdir jika dimasa lalunya Palangkaraya pernah digadang-gadang oleh pemimpin karismatis bangsa ini untuk menjadi sebuah kota pertama yang besar di alam kemerdekaan dan dibesarkan oleh tangan bangsa ini sendiri bebas dari pengaruh Belanda dan Jepang. Adalah takdirnya juga jika tangan Soekarno ikut mendisain kota ini. Dan juga adalah takdir jika tangan Soekarnolah yang meletakan batu pertama (sebenarnya tiang) sebagai landasan pembangunan kota ini. Takdir telah membawa kota Palangkaraya harus menempuh jalan hidupnya sendiri setelah terhempas dari ambisi besar dari besar sang Pemimpin. Dan kini nasib pula yang mempertemukan Palangkaraya dengan gagasan besar untuk memindahkan pusat pemerintahan Republik ini. Kota Palangkaraya masuk dalam nominasi calon pusat pemerintahan karena alasan historisnya kemudian didukung dengan posisi geografis dan geopolitisnya dan dilengkapi dengan keamanan dari aktifitas geologis yang membahayakan.

Barangkali satu yang masih tertinggal adalah posisi Palangkaraya yang dikepung oleh daerah aliran sungai. Posisi hidrologi ini telah menganugerahi kota Palangka Raya dengan lansekap penyimpan air permukaan dan air bawah permukaan sebagai bagian dari sistim besar hidrologi pulau Kalimantan dan propinsi Kalimantan pada khususnya. Bukti empiris telah menunjukan bahwa gangguan terhadap sistim hidrologi itu akan menimbulkan ketidakseimbangan dan gangguan terhadap yang lain. Sebagai Pembukaan perkebunan sawit yang tidak terkendali telah mengikis daya dukung pengendalian air permukaan dan air bawah permukaan. Jadi meskipun curah hujan rata-rata cukup rendah, namun akhir-akhir ini banjir dengan mudah melanda. Contoh yang lain adalah pengalaman di masa lalu ketika Soeharto mencanangkan pembukaan lahan sejuta hektar untuk menanam padi. Saluran irigasi buatan manusia ternyata telah mengiris kubah raksasa gambut yang menyimpan air dengan kadar pirit yang tinggi. Akibatnya lahan yang digadang-gadang dapat menumbuhkan padi dengan kualitas tinggi akhirnya berproduksi dengan kualitas rendah. Proyek lahan sejuta hektar akhirnya berantakan, namun akibat buruknya terhadap kehidupan sosial masyarakat asli dan lingkungan hidup sampai kapanpun tidak akan pernah terlupakan. Dua contoh diatas hendaklah menjadi pelajaran yang sangat berharga. Sedungu-dungunya keledai, diapun tidak bakalan terperosok ke lubang yang sama.

Wacana pemindahan pusat pemerintahan Ri yang disebut-sebut akan ditempatkan di Palangkaraya, sangatlah menarik untuk didiskusikan. Karena baru berupa wacana ya tentulah masih jauh panggang dari api. Namun membicarakannya sangatlah menarik, karena paling tidak sekarang orang jadi tahu kota Palangkaraya. Sebagian orang berlomba-lomba membicarakannya dengan pengetahuan dan versinya masing-masing, ya sah-sah saja. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun wacana ini telah menghembuskan berbagai macam isu di tengah-tengah masyarakat. misalnya Isu tentang ganti rugi tanah untuk pembangunan infrastruktur dan bangunan pemerintahan telah menggerakan para spekulan tanah baik yang profesional maupun yang dadakan untuk berlomba-lomba menyimpan kavling tanah terutama untuk daerah yang strategis. Isu yang lain yang beredar adalah masyarakat lokal bakal terpinggirkan oleh aktifitas para pendatang di kota Palangkaraya, lalu munculah ungkapan “tempun petak nana sare” ( terjemahan bebas: punya tanah tapi bertani di pinggiran).