Sabtu, 10 Januari 2009

Hamparan Petak Luaw (Lahan Basah)

Pengantar :
Artikel ini merupakan ekstraksi populer dari sebuah makalah ilmiah yang disajikan dalam Seminar Internasional SURED (Sustainable Resource Development) dengan tema “Sustainable Management of Water and Land Resources”, case : Central Kalimantan and DKI Jakarta, diselenggarakan di Jakarta 25-27 Agustus lalu. Seminar ini merupakan hasil kolaborasi antara DAAD (mewakili Pemerintah Jerman), Karlsruhe University, UKI, dan Fakultas Teknik Universitas Palangka Raya, dihadiri oleh peserta dan pembicara yang datang dari berbagai Negara (India,China,Vietnam,Pakistan,Belanda, Jerman, dan Indonesia). Seminar ini dibuka oleh Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, Bapak A. Teras Narang, S.H yang menyampaikan Keynote Speech tentang Pengelolaan Pembangunan yang Berkelanjutan di Kalimantan Tengah.


Lahan Basah dan Fungsinya
Lahan basah yang secara kasat mata dicirikan oleh genangan air dangkal di area yang cukup luas, merupakan habitat bagi beberapa vegetasi dan spesies binatang tertentu yang telah beradaptasi dengan lingkungan basah. Lahan basah banyak ditemukan di berbagai tempat di dunia, termasuk di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Lahan basah memiliki fungsi biologi, ekologi, dan hidrologi yang sangat penting. Secara generik, beberapa klasifikasi lahan basah di Kalimantan Tengah seperti river floodplain (Daerah Bantaran Sungai), rawa gambut (peat swamp), rawa-rawa (fresh water swamp) mendapatkan penyebutan dalam lidah lokal sebagai petak luaw (dalam bahasa dayak ngaju).

Pada fungsi biologi, lahan basah merupakan habitat yang mendukung kehidupan beberapa jenis tumbuhan dan binatang. Pada fungsi ekologi, lahan basah merupakan gudang penyimpan karbon bumi yang merupakan hasil penguraian materi yang telah terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Rusaknya fungsi ini dapat mengakibatkan emisi karbon ke atmosfer yang berkontribusi kepada pemanasan global dan perubahan ikilim serta terganggunya keseimbangan ekologi. Pada fungsi hidrologi, lahan basah berfungsi menyimpan cadangan air permukaan dan air bawah permukaan, membantu memperlambat pelepasan air daratan ke laut. Selain itu, lahan basah yang terletak dekat dengan sungai (floodplain wetland) berfungsi menampung limpasan (Run Off) air sungai, sehingga ditengah laju kerusakan hutan di bagian hulu di tambah dengan laju pendangkalan sungai di bagian hilir yang luar biasa, maka kemampuan tersebut sangat diperlukan untuk meminimalkan banjir di bagian tengah dan hilir yang umumnya banyak terdapat wilayah-wilayah pemukiman dan infrastruktur dalam skala besar. Hilangnya fungsi tersebut dapat berarti bencana.

Paling tidak, lebih dari 20% wilayah provinsi Kalimantan Tengah merupakan lahan basah. Dengan geografi wilayah yang didominasi oleh pegunungan dan pebukitan, dengan eksistensi hutan hujan tropis basah di wilayah utara, dan dominasi dataran rendah pada wilayah selatan yang berpenduduk lebih banyak, maka keberadaan lahan basah tersebut menjadi sangat penting, karena tumpahan air permukaan dan bawah permukaan yang mengalir dari “tangki air raksasa” di pegunungan Muller-Schawanner, sebagian besar “ditangkap” oleh variasi inland dan coastal wetland yang banyak terhampar mulai dari utara sampai ke selatan, sehingga mengamankan wilayah tengah dan hilir dari banjir yang menghancurkan.

Namun seiring dengan semakin habisnya kawasan lahan basah, akibat dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman atau semakin besarnya intensitas gangguan terhadap fungsi-fungsi tersebut akibat pembukaan saluran irigasi, pembuatan kanal baru dan pembangunan infrastruktur jalan dan drainase, maka mungkinkah mimpi buruk tentang bencana banjir yang akan menenggelamkan pemukiman dan infrastruktur di bagian selatan provinsi Kalimantan Tengah akan menjadi kenyataan?

Pembangunan Pemukiman dan Infrastruktur Kota di atas Lahan Basah
Di Kalimantan Tengah, sebagian besar kawasan pemukiman dan infrastruktur yang dibangun di kota-kota kecil (berpenduduk kurang dari 500.000), berada di wilayah Selatan, yang umumnya merupakan dataran rendah. Sebut saja misalnya beberapa kota kecil tersebut seperti Kuala Kapuas, Pulang Pisau, Palangka Raya, Kasongan, Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun.

Pada awalnya kota-kota tersebut merupakan pemukiman kecil yang terletak ditepi sungai. Kemudian seiring dengan proses perkembangan “menjadi kota” yang utamanya dipicu oleh faktor pertambahan penduduk melalui migrasi, pertumbuhan ekonomi, dan pemekaran wilayah pemerintahan, maka konsentrasi pemukiman dan infrastruktur kota (jalan, drainase kota, jaringan air bersih, jaringan listrik dan lain-lain) mulai bergeser menjauhi tepi sungai dan semakin membesar. Ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan, perkantoran dan infrastruktur baru serta pembukaan lahan pertanian baru merupakan suatu kebutuhan yang sangat krusial. Kebutuhan inilah yang kemudian menggiring kepada upaya okupasi dan konversi lahan basah yang banyak terdapat dalam wilayah administrasi kota.

Banyak hamparan rawa gambut, rawa-rawa, dan daerah bantaran sungai di dalam wilayah kota, telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman baru. Genangan air di hamparan tersebut telah lenyap, berganti dengan timbunan tanah baru untuk dasar pondasi rumah, gedung,dan jalan. Sementara itu beberapa hamparan lahan basah yang telah berubah menjadi kawasan pemukiman, masih berfungsi, walaupun menunjukan indikasi fungsi yang semakin menurun, hal ini disebabkan karena pemukiman dan infrastruktur diatasnya semakin bertambah, semakin melampaui daya dukungnya, semakin bertumpuknya sampah non organik, dan air limbah beracun yang sulit terurai di alam terbuka. Namun demikian, karena pemukiman dan infrastruktur tersebut di bangun di atas tongkat-tongkat kayu yang tertancap pada tanah di bawah permukaan air, maka lahan basah tersebut masih mampu berfungsi menampung limpasan air sungai dan mendukung habitat tumbuh-tumbuhan dan binatang pada batas-batas tertentu. Namun sampai kapan fungsi ini masih bertahan jika pembangunan pemukiman dan infrastruktur di atas lahan basah masih berlangsung seiring dengan perkembangan kota?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya pada tahun 2007, ditemukan kurang lebih seluas 60 km2 lahan basah di wilayah kota Palangka Raya telah dikonversi menjadi kawasan pemukiman dan pertanian selama kurun waktu pembangunan dari tahun 1973 sampai tahun 2007. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa terhadap hubungan yang sangat kuat antara laju pengembangan kota dengan laju konversi lahan basah dan pengurangan luas hamparan lahan basah. Jadi jika hubungan tersebut berbanding terbalik, maka umumnya untuk kota yang masih berkembang secara horisontal, berlaku hubungan sebab akibat yang diasumsikan sebagai berikut ; semakin berkembang kota, semakin berkurang luas lahan basah. Asumsi ini cukup mengkuatirkan, karena, pertama, semua kota di di Kalimantan Tengah memiliki hamparan-hamparan lahan basah di dalam wilayahnya, pada satu sisi, sementara pada sisi yang lain, perkembangan kota menuntut penyediaan lahan untuk keperluan pembangunan pemukiman dan infrastruktur baru, sehingga okupasi dan konversi lahan basah menjadi sebuah keniscayaan. Kedua, lahan basah tersebut memiliki fungsi yang sangat krusial (Biologi,Ekologi,Hidrologi), kerusakan pada lahan basah akan menyebabkan emisi karbon ke atmosfir, dan ketiga, sebagian besar kota yang berpopulasi besar di wilayah provinsi Kalimantan Tengah berada di wilayah selatan yang rendah dan datar, sehingga dapat memunculkan peluang banjir pada beberapa level ketinggian.

Penutup
Jika memperhatikan fungsi krusial dari hamparan-hamparan lahan basah di dalam wilayah kota pada khususnya dan di dalam wilayah provinsi Kalimantan Tengah atau region Kalimantan pada umumnya, dan jika mencermati kecenderungan pengalihan fungsi lahan basah untuk kepentingan pembangunan pemukiman dan infrastruktur baru, sebagaimana selama ini di telah berlangsung di kota-kota yang sedang berkembang di wilayah provinsi Kalimantan Tengah, di tambah dengan laju kerusakan hutan di bagian hulu dan laju pendangkalan di bagian hilir yang luar biasa, maka diperlukan semacam blue print konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan (eco-development concept) yang akan memandu kebijakan yang pro lingkungan dan pro pertumbuhan ekonomi dan memandu upaya perencanaan wilayah regional, wilayah kota, dan kawasan pemukiman yang tepat, di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan region Kalimantan, jika kita tidak ingin menuai bencana yang lebih besar di masa mendatang.

(Penulis adalah Mahasiswa Doktoral di Toyohashi University Of Technology, bidang kajian Urban and Regional Management and Development, bekerja di Jurusan Arsitektur Universitas Palangka Raya)

2 komentar:

  1. Mentep!!!! mohon izin untuk sebar luaskan Bro lah Tks. n Jbu

    BalasHapus
  2. iyoh, takan bei, ela dia bingatlah mencantum referensi ah. he..he..he..he

    BalasHapus